ads

Slider[Style1]

Style2

Style3[OneLeft]

Style3[OneRight]

Style4

Style5

Pawai Budaya bersama Monas Jakarta

Kemeriahan haflah akhirussanah Pesantren Ekonomi Darul Uchwah berlanjut. Kali ini pawai budaya dilaksanakan pagi tadi pukul 07.00 dengan antusias warga.

Pawai budaya dibuka langsung oleh KH. marsudi Syuhud dengan iringan bendara bercorak hijau (NU) yang berkibar disetiap jalan. Pawai yang dimulai dari halaman pesantren itu diikuti oleh peserta dari beberapa kalangan santri se Jakarta Barat.

"Pawai budaya ini memang diselenggarakan untuk menghibur masyarakat sekitar pesantren, dimana perayaan besar ini agar warga masyarakat bisa berkumpul dan bersatu padu dalam keragaman menciptakan kerukunan dan perdamaian", Ujar lurah Pesantren Akhmad Nurul Huda.

Monas serta ikon Jakarta lainnya tidak kalah andil dalam menyemarakan pawai ini, bahkan tank hasil kreasi santri membuat warga yang melihat terkagum.

Sepanjang jalan tidak hentinya peserta pawai melantunkan sholawat kepada nabi yang menambah kemeriahan acara. Pawai ini berlangsung semarak dengan rute hingga daerah sunrice Jakarta Barat.

Muhdy

Kekuatan Ekonomi Santri dan Krisis Global

Krisis global sedikit banyak berdampak pada masyarakat. Bagaimana pelaku-pelaku usaha kecil, menengah dan mikro sebagian adalah masyarakat santri.

Oleh karena itu, langkah-langkah yang diperlukan segera adalah agar ada gerakan yang diinisiasi oleh Pesantren untuk melindungi ekonomi santri, meskipun secara riil data-data aktifitas ekonomi santri tidak terdokumentasi secara resmi.

Yang lebih penting saat ini adalah, pesantren membangun kesadaran budaya ekonomi, agar santri beraktifitas dengan prilaku sesuai kaidah yang telah diajarkan secara teori maupun praktek.

Kekuatan ekonomi santri sesungguhnya terletak pada diri individu santri itu masing-masing. Kekuatan ekonomi santri sesungguhnya terletak dalam tradisi, dimana fungsi sosial keagamaan mampu merekatkan seluruh sekat-sekat dan strata sosial.

Muhdy

Pesantren Ekonomi Darul Uchwah gelar Lomba MDT se Jakarta Barat

Jakarta, 27 Mei 2016

Kemeriahan Haflah Akhirussanah dimulai sore ini, peserta lomba berantusias datang sejak pagi. Acara yang digelar Pesantren Ekonomi Darul Uchwah yang beralamat di Jalan kedoya duri Raya Jakarta Barat ini dihadiri lebih dari 500 peserta dari Madarasah Diniyah (MDT) se Jakarta Barat.

Lomba yang digelar berupa lomba mewarnai, fashion show, hafalan surat pendek, hafalan do'a serta masih banyak perlombaan yang lain.

"Kegiatan ini merupakan rangkaian dari kegiatan haflah akhirusanah yang sebelumnya ada ziaroh wali Jawa Barat". Ujar Rohmat Ketua Panitia.

Kegiatan berikutnya akan dilaksankan pawai budaya pada pukul 09.00 pagi. "Ini merupakan bentuk syiar Pesantren kepada masyarakat serta berta'aruf". Ujar Rohmat

Acara direncanakan selesai hingga sore hari ditutup do'a oleh ibu Nyai Mufidzah yang merupakan pengasuh pesantren putri.

Muhdy

Pesantren Harus Mendorong Perekonomian Santri


Mbak Santri sedang berkumpul talaman

Apa yang harusnya dilakukan Lembaga Pesantren  jika bukan untuk berbaikan santrinya? Ini juga menjadi tanggung jawabnya Pengurus Pesantren yang saat ini telah berusia lima bulan. Usia pengurus  yang tidak muda lagi dalam hitungan hari ini tentu memerlukan perenungan dan refleksi untuk aksi pembenahannya. Apa yang telah diperbuat lembaga pesantren, untuk tidak mengatakan yang satu-satunya Pesantren Ekonomi di Indonesia, selama usia tersebut untuk perbaikan jamaahnya?

Sebentar lagi haflah Akhirussanah  akan segera digelar. Berbagai agenda telah dirancang. Namun satu catatan besar patut dipertanyakan: apa yang telah dilakukan Lembaga Pesantren ini dalam menata kehidupan santri  menuju arah yang lebih baik? Tentu memerlukan kejujuran untuk menjawab pertanyaan ini, sekaligus kesungguhan untuk mengejar target-target capaian yang terlupakan selama ini. Sehingga tahun ajaran baru  tidak menjadi ritual tahunan yang tuna makna.

Salah satu aspek penting dalam upaya perbaikan santri adalah penguatan ekonominya. Disamping pendidikan dan peningkatan sumber daya manusianya. Tanpa penguatan ekonomi, maka tiang penyangga lembaga pesantren menjadi rapuh. Ranah pendidikannya pun terabaikan dan pada akhirnya sumber daya manusianya tidak kuasa ditingkatkan. Pada ujungnya, kemandirian lembaga pesantren pun dipertaruhkan. Dalam konteks ini, diupayakan menghadirkan kembali spirit Leadership & Enterpreneurship  untuk menopang laju Lembaga Pesantren saat ini. Sehingga, Leadership dan Enterpreunership bukan hanya guyonan yang hanya didengungkan dari masa ke masa, namun mewujud dalam agenda dan aksi strategi Lembaga Pesantren.

Di sinilah pentingnya membincang tanggung jawab Pengurus Pesantren terhadap penguatan ekonomi santri dan sebaliknya, tanggung jawab dan kewajiban santri terhadap Pengurus Pesantren dalam penguatan ekonomi.

SantriEkonomi/santridaruluchwah

Berkah Tawadlu Mbak Santri

Para Santri dan Pengurus Pesantren
Kali ini agak sedikit berbeda, namun konteksnya masih sama. Seperti kejadian tempo lalu, peristiwa ini terjadi untuk yang kedua kalinya. Pagi itu, tepat pukul 07.00 WIB, Iza dan Qiqi telah bersiap diri. Dengan berbekal izin dari Umi, mental pas-pasan serta empat lembar lima puluh ribuan mereka berangkat menuju toko buku di kota Senen, Jakarta pusat. Seperti biasa, mereka pergi naik transportasi umum trans Jakarta atau bahasa akrabnya busway.
Sampai di tempat, suasana masih sepi. Beberapa penjual sedang sibuk mempersiapkan barang dagangannya untuk segera dijajakan. Iza dan Qiqi memutuskan untuk berkeliling ke seantero pasar Senen. Setelah kondisi pasar dirasa cukup ramai, barulah mereka pergi ke tempat penjualan buku, kitab dan sejenisnya. Iza yang sebelumnya membuat list nama-nama buku yang akan ia beli segera  menyodorkannya pada salah satu penjaga toko. Sambil menunggu buku pesanannya, ia sibuk memilah-milah koleksi sastra karya Oki Setiana Dewi. Tak lama buku pesanannya datang, tawar menawar harga pun terjadi di tengah-tengah transaksi yang dilakukan oleh Iza dan penjual. Kemudian ia membayarnya dan beranjak pergi.
Mereka kembali berjalan mengelilingi toko buku yang ada di pasar tersebut. Sambil bertanya kepada para  penjual apakah tersedia buku Siroh Nabawi karangan Ibn Hisyam dan kitab Fiqhul Islam wa Adilatuhu karangan Wahbah Zuhaili. Usaha pencarian dua buku tersebut sia-sia belaka alias nihil.
Karena hari semakin siang, mereka pun pulang. Lagi-lagi mereka berpetualang dengan yang namanya busway. Ya, busway-lah yang selama ini setia mengantar mereka, kemanapun mereka pergi khususnya di cakupan wilayah ibukota. Sampai di halte harmoni sentral busway, mereka transit mengambil jurusan Lebak Bulus. Seperti biasa dan sudah menjadi kebiasaan, busway jurusan ke Lebak Bulus lama sekali tiba menghampiri penumpang. Terlihat antrian yang semakin mengular. Iza dan Qiqi akhirnya duduk di bangku panjang yang telah disediakan di halte. Tiba-tiba seorang nenek tua datang menghampiri Iza,
“Nak, nenek boleh meminta sedikit uang untuk ongkos pulang? Tiga ribu rupiah saja, uang nenek sudah habis. Nenek ingin naik angkot”.
“Ehm, sebentar ya, nek. Saya ambil dulu”.
Iza menarik selembar lima ribuan dan diberikan pada  nenek tua.
“Ini, nek ambil saja. Semoga cukup  ya!”
Dengan penuh rasa syukur nenek itu menerima uang pemberian Iza.
“Tapi ini terlalu banyak, nak”.
“Sudah ndak apa, nek”.
“Ya Allah, terima kasih sekali, nak. Semoga Allah memberimu yang lebih baik”.
“Insya Allah, nek. Amiin! Ya udah sekarang nenek segera pulang ya! Hati-hati di jalan!”
“Iya, nak. Sekali lagi terima kasih”.
Meski uang yang Iza punya hanya pas-pasan, ia tetap bersyukur karena ia bisa membantu orang lain yang membutuhkannya. Ia yakin Allah tidak akan tinggal diam.Tak lama, busway datang. Iza dan Qiqi segera masuk dan ikut bergabung bersama penumpang lainnya.
Tiba di asrama, Iza dan Qiqi beristirahat sejenak melepas penat. Tepat pukul 13.00 WIB, Iza mengirim pesan kepada Ahmad untuk menemani dirinya mencari buku pesanan Ustadz di tanah abang. Jam 14.00 WIB, Ahmad dan Jamal menunggu Iza di tepi jalan raya. Sesaat kemudian kopaja nomor 16 datang. Ahmad, Jamal dan Iza segera masuk. Di dalam, seorang kondektur mulai menariki ongkos penumpang. Iza menyodorkan selembar lima puluh ribuan namun ditolaknya. Mungkin terlalu banyak dan tak ada uang kembalian. Kondektur melangkah ke depan menariki ongkos penumpang lainnya. Iza pun bingung karena ia lupa untuk membawa uang receh. Ia kirim pesan ke Jamal, tapi tak dibalas. Ia missedcall tak diangkat juga. Si kondektur kembali datang meminta ongkos. Kembali ia menyodorkan selembar lima puluh ribuan, namun  lagi-lagi ditolaknya. Sambil mengancam jika tidak segera membayar ongkos, maka Iza harus mau diturunkan dari kopaja. Ia bertambah panik dan semakin panik. Sampai akhirnya seorang bapak yang sedari tadi memperhatikan Iza menyerahkan selembar sepuluh ribuan pada sang kondektur sebagai pengganti ongkosnya tadi. Mungkin bapak tersebut iba melihat seorang gadis diperlakukan seperti itu. Padahal Iza sendiri telah berusaha membayar ongkosnya. Dengan penuh rasa syukur, Iza mengucap terima kasih pada bapak tersebut. Dalam hati ia berdoa, semoga Allah membalasnya dengan yang lebih baik. Iza senang bukan main karena ia tak jadi diturunkan dari kopaja. Jika hal itu benar-benar dilakukan oleh sang kondektur, betapa malunya ia.
Tiba di pasar tanah abang, Ahmad, Jamal dan Iza turun dan berjalan kaki menuju toko buku. Toko buku pertama yang mereka datangi yaitu yang di dekat masjid jami’ al-Makmur. Iza bertanya pada penjual apakah menyediakan buku pesanannya. Ternyata jawabannya tidak ada. Ahmad mengajaknya untuk pindah ke toko buku yang ada di seberang jalan raya. Dari empat toko buku yang mereka datangi, hanya satu yang menyediakan kitab pesanannya, itupun tidak sama persis seperti yang dipesannya.
Hari semakin sore, matahari semakin condong ke ufuk barat. Mereka akhirnya pulang. Namun di tengah perjalanan Iza berhenti di depan penjual buah naga dan membeli 1 kg. Sementara Ahmad dan Jamal mampir ke blok G pasar tanah abang. Mereka membeli baju batik sesuai selera mereka. Iza menunggu di luar sambil mengamati orang-orang yang berlalu lalang di jalanan.
Ahmad dan Jamal datang menghampiri Iza yang sejak tadi berdiri mematung lalu mengajaknya pulang. Mereka menyusuri jalan sambil menunggu kopaja nomor 16. Tak lama kopaja datang, lambaian tangan Jamal memberhentikan kopaja dan mereka segera masuk untuk melanjutkan perjalanan pulang.  
 
Nur Rahma Sari
santri Pesantren Ekonomi Darul Uchwah

Pesantren Pencetak Generasi Pembayar Zakat



Dalam era saat ini, Semangat keislaman dan wirausaha harus bersinergi untuk menciptakan kondisi umat Islam yang mampu menjadi para muzakki (pembayar zakat) baru. Melihat kondisi muslim Indonesia mayoritas adalah pekerja, maka lembaga pendidikan memang harus berkontribusi untuk mencetak kader masyarakat menjadi seorang muzakki.

“Islam mengajarkan untuk membayar zakat, bukan mencari zakat. Memberi sedekah bukan mencari sedekah,” ujar pengasuh Pesantren Ekonomi Darul Uchwah KH Marsudi Syuhud, dalam pengajian rutin pagi. Seperti diterapkan dalam pesantren yang dibangun sejak 2011 itu yang bercita-cita untuk mencetak para pengusaha.

Sesuai ajaran Islam, KH. Marsudi Syuhud menyatakan pesantren ingin menyebarkan pesan tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah. Sehingga, para santri didorong agar bisa menjadi generasi pembayar zakat.
 Marsudi menyampaikan, Rasulullah SAW merupakan sosok teladan karena telah mulai berbisnis sejak usia belia. “Saat ini peluang wirausaha masih terbuka lebar. Jadi mari kita dorong untuk bisa berbisnis dan menjadi pembayar zakat,” ujar Kiai.

Standar negara maju, yaitu memiliki wirausahawan sebanyak minimal tujuh persen dari total warga negaranya. Singapura salah satu contoh negara tetangga paling terdekat yang sudah mencapai hal itu. Marsudi mengakui, jumlah wirausahawan di Indonesia baru mencapai 1,6 persen.

Pesantren tersebut pun kini tengah mengembangkan usaha reksa dana yang dinamai House of Brotherhood Fund. Upaya menggalang dana investasi tersebut kini sedang dalam tahap pengurusan berkas dan secepatnya akan diluncurkan. Kiai berharap, upaya tersebut bisa menjadi lapangan nyata untuk para santri karena bisa bertemu dengan professional yang menyuntikkan dana.
 
Dengan visi ekonomi yang mantap bukan berarti santri kehilangan sentuhan pesantren. Kegiatan pesantren pada umumnya tetap menjadi kurikulum dasar.

“Istighotsah dan membaca manaqib seperti ini adalah kekuatan untuk menghubungkan orang,” ujar Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama ini.

Saat ini, jumlah santri di Pesantren Ekonomi Darul Uchwah terbatas hanya sebanyak 200 orang karena keterbatasan ruang asrama. Kiai mengaku, pihaknya kini tengah berupaya mengembangkan pesantren tersebut untuk menampung lebih banyak santri.

Irham/Muhdi

KH. Marsudi SYuhud saat kedatangan tamu dari Malaysia

Profil Singkat Pengasuh Pesantren Ekonomi Darul Uchwah

Bertubuh gempal dengan perawakan  sedang. Bersuara keras dan gaya bicara blak-blakan sekaligus meledak-ledak, namun memiliki selera humor tinggi. Kalau sedang tertawa bisa-bisa orang di seluruh ruangan di Kantor PBNU mendengar, ha ha ha. Itulah gambaran umum sosok Dr. H. Marsudi, Sekretaris Jenderal PBNU, yang ruang kerjanya bersebelahan dengan ruang Ketua Umum PBNU Dr. KH Said Aqiel- Siiodj, MA. “Saya ini orang kampung, Mas, Kebumen,” ujarnya membuka pembicaraan santai dengan nada merendah. “Tapi sejak kecil saya selalu sekolah di luar negeri,” lanjutnya dengan mimik (seperti) sungguh-sungguh. Lho, hebat kan? Ternyata maksudnya bukan begitu. “Sekolah di luar negeri itu artinya tidak pernah masuk sekolah negeri. Saya selalu sekolah swasta, ha ha ha,” jelasnya sambil tertawa.
Pria yang memiliki kelebihan mudah bergaul dalam lingkungan baru ini pun menuturkan perjalanan hidupnya. Putra pasangan H Suhudi dan Hj Sairah ini lahir di Desa Jogosimo Ke-camatan Klirong Kabupaten Kebumen 50 tahun silam. Pendidikan dasar dan sekolah diniyah yang harus menghafal Jurumiyah dan Imrity diselesaikan di kampungnya. Setelah itu merantau ke Pesantren Raudlatul Mubtadiin di Jatisari, Jenggawah, Jember, berguru kitab-kitab salaf kepada KH Abu Hamid. Di pesantren yang terkenal dengan sorogan kitab  salafnya itu ia belajar selama empat tahun. Jadilah ia banyak mengenal karakter masyarakat Jawa Timur yang kental dengan nuansa Madura-nya.
Tahun 1982 pindah ke Cilacap untuk belajar di Pondok Pesantren Al-Ihya’ Ulumiddin Kasugihan asuhan KH Mustholih Badawi. Di sini ia menamatkan pendidikan MTs dan MA, juga kitab-kitab salaf seperti Alfiyah Ibnu Malik dan Ihya’ ulumiddin. Ketika berlangsung Munas Alim Ulama NU di Kasugihan (tahun 1986) ia sudah terlibat sebagai panitia. Tak lama setelah Munas, ia diajak oleh Kiai Mustholih, yang saat itu menjadi salah seorang Rais Syuriah PBNU, ke Jakarta untuk dititipkan kepada KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Pada saat yang sama ia mendapatkan beasiswa dari LPBA. Jadilah ia bermukim di Jakarta dan tinggal di Komplek Pondok Pesantren Ash-Shiddiqiyah Kebon Jeruk asuhan KH Nur Muhammad Iskandar, SQ, sampai jadi asisten pengasuh.
Beasiswa LPBA tidak diteruskan. Ia lebih memilih menjadi guru dan ku-liah di STKIP PGRI Jakarta. Tahun 1994 menikah dengan Mufizah binti KH Abdurrohinn, Pengasuh Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar, Banjar Patoman, Ciamis, yang juga masih kepon-akan dekat Kiai Mustholih. “Jadi, dari Kiai Mustholih itu selain dapat ilmu, saya juga dapat istri,” akunya sembari bergurau. Pada tahun yang sama ia mendirikan Pondok Pesantren Barokatur Rohman di Sukabudi, Tambelang, Bekasi. Juga mendirikan pesantren satu-satunya di Indonesia yang bericon ekonomi, Pesantren Ekonomi Darul Uchwah, yang khusus untuk mahasiswa S1 dan S2 di Kedoya Selatan Kebon Jeruk Jakarta Barat. Pesantren ini menitikberatkan pelajarannya pada skill, leadership, interpreneurship, dan memperdalam kitab-kitab mu’amalah (ekonomi).
Sebagai anak orang NU dan menjalani pendidikan di lingkungan NU, naluri ke-NU-annya tidak dapat dipungkiri. Sejak masuk Jakarta ia langsung aktif bergabung petama jadi Banser yang direkrut langsung oleh H Suaedi di Jakarta, dan seragam Bansernya sampai kini masih disimpan rapi untuk kelak ditunjukkan ke anak cucu dan santri agar bisa jadi petuah.
Selain aktif di Banser, ia juga sebagai pengurus di PP LPNU yang diketuai oleh Bapak Lutfi, MBA saat jaman Gus Dur. Tahun 1996 diangkat sebagai Wakil Sekretaris PWNU DKI Jakarta dibawah Ketua KH A Wahid Bisri. Ketika PKB didirikan ia duduk sebagai Sekretaris Dewan Syuro DKI untuk dua periode kepengurusan dengan Ketua Tubagus Abbas dan Marzuki Usman.
Hasil Muktamar Makassar 2010 mengangkat dirinya untuk duduk sebagai salah seorang Ketua PBNU. Selang beberapa bulan kemudian, ketika terjadi perubahan di internal PBNU, ia dipercaya untuk duduk sebagai Sekjen PBNU hingga sekarang.
Selain organisasi induk yang turun-temurun dari orang tua NU, ia juga aktif diberbagai organisasi lain, seperti Ketua Kerukunan Umat Beragama, Bisma, Global Peace Foundation yang berkantor di Washington DC, Induk Koperasi Pesantren (Inkopontren), Dekopin, HKTI, World Economic Fonim. Juga berkiprah di dunia ekonomi syariah, sebagai Ketua LKMS di Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) periode yang lalu, dan sampai sekarang sebagai pembina. Juga menjadi pembina di Ikatan Saudagar Muslim (ISMI) karena S3 yang ia geluti di Universitas Trisakti adalah Islamic Economic and Finance (IEF).
Bersambung Hidupkan Kembali Jaringan NU (Bagian II-habis)
Artikel utuh ini diambil dari Rubrik Tokoh di Majalah AULA Ishdar 02 SNH XXXVI Pebruari 2014 halaman 35-37.
Santri Darul Uchwah/
KH. Marsudi Syuhud saat berkunjung keluar negeri

Top