|
Para Santri dan Pengurus Pesantren |
Kali ini agak sedikit berbeda, namun konteksnya masih sama. Seperti
kejadian tempo lalu, peristiwa ini terjadi untuk yang kedua kalinya. Pagi itu,
tepat pukul 07.00 WIB, Iza dan Qiqi telah bersiap diri. Dengan berbekal izin
dari Umi, mental pas-pasan serta empat lembar lima puluh ribuan mereka
berangkat menuju toko buku di kota Senen, Jakarta pusat. Seperti biasa, mereka
pergi naik transportasi umum trans Jakarta atau bahasa akrabnya busway.
Sampai di tempat, suasana masih sepi. Beberapa penjual sedang sibuk
mempersiapkan barang dagangannya untuk segera dijajakan. Iza dan Qiqi
memutuskan untuk berkeliling ke seantero pasar Senen. Setelah kondisi pasar
dirasa cukup ramai, barulah mereka pergi ke tempat penjualan buku, kitab dan
sejenisnya. Iza yang sebelumnya membuat list nama-nama buku yang akan ia
beli segera menyodorkannya pada salah
satu penjaga toko. Sambil menunggu buku pesanannya, ia sibuk memilah-milah
koleksi sastra karya Oki Setiana Dewi. Tak lama buku pesanannya datang, tawar
menawar harga pun terjadi di tengah-tengah transaksi yang dilakukan oleh Iza
dan penjual. Kemudian ia membayarnya dan beranjak pergi.
Mereka kembali berjalan mengelilingi toko buku yang ada di pasar
tersebut. Sambil bertanya kepada para penjual apakah tersedia buku Siroh Nabawi
karangan Ibn Hisyam dan kitab Fiqhul Islam wa Adilatuhu karangan Wahbah
Zuhaili. Usaha pencarian dua buku tersebut sia-sia belaka alias nihil.
Karena hari semakin siang, mereka pun pulang. Lagi-lagi mereka
berpetualang dengan yang namanya busway. Ya, busway-lah yang selama ini setia
mengantar mereka, kemanapun mereka pergi khususnya di cakupan wilayah ibukota.
Sampai di halte harmoni sentral busway, mereka transit mengambil jurusan Lebak
Bulus. Seperti biasa dan sudah menjadi kebiasaan, busway jurusan ke Lebak Bulus
lama sekali tiba menghampiri penumpang. Terlihat antrian yang semakin mengular.
Iza dan Qiqi akhirnya duduk di bangku panjang yang telah disediakan di halte. Tiba-tiba
seorang nenek tua datang menghampiri Iza,
“Nak, nenek boleh meminta sedikit uang untuk ongkos pulang? Tiga
ribu rupiah saja, uang nenek sudah habis. Nenek ingin naik angkot”.
“Ehm, sebentar ya, nek. Saya ambil dulu”.
Iza menarik selembar lima ribuan dan diberikan pada nenek tua.
“Ini, nek ambil saja. Semoga cukup
ya!”
Dengan penuh rasa syukur nenek itu menerima uang pemberian Iza.
“Tapi ini terlalu banyak, nak”.
“Sudah ndak apa, nek”.
“Ya Allah, terima kasih sekali, nak. Semoga Allah memberimu yang
lebih baik”.
“Insya Allah, nek. Amiin! Ya udah sekarang nenek segera pulang ya!
Hati-hati di jalan!”
“Iya, nak. Sekali lagi terima kasih”.
Meski uang yang Iza punya hanya pas-pasan, ia tetap bersyukur
karena ia bisa membantu orang lain yang membutuhkannya. Ia yakin Allah tidak
akan tinggal diam.Tak lama, busway datang. Iza dan
Qiqi segera masuk dan ikut bergabung bersama penumpang lainnya.
Tiba di asrama, Iza dan Qiqi beristirahat sejenak melepas penat.
Tepat pukul 13.00 WIB, Iza mengirim pesan kepada Ahmad untuk menemani dirinya
mencari buku pesanan Ustadz di tanah abang. Jam 14.00 WIB, Ahmad dan Jamal
menunggu Iza di tepi jalan raya. Sesaat kemudian kopaja nomor 16 datang. Ahmad,
Jamal dan Iza segera masuk. Di dalam, seorang kondektur mulai menariki ongkos
penumpang. Iza menyodorkan selembar lima puluh ribuan namun ditolaknya. Mungkin
terlalu banyak dan tak ada uang kembalian. Kondektur melangkah ke depan
menariki ongkos penumpang lainnya. Iza pun bingung karena ia lupa untuk membawa
uang receh. Ia kirim pesan ke Jamal, tapi tak dibalas. Ia missedcall tak diangkat
juga. Si kondektur kembali datang meminta ongkos. Kembali ia menyodorkan
selembar lima puluh ribuan, namun
lagi-lagi ditolaknya. Sambil mengancam jika tidak segera membayar
ongkos, maka Iza harus mau diturunkan dari kopaja. Ia bertambah panik dan
semakin panik. Sampai akhirnya seorang bapak yang sedari tadi memperhatikan Iza
menyerahkan selembar sepuluh ribuan pada sang kondektur sebagai pengganti
ongkosnya tadi. Mungkin bapak tersebut iba melihat seorang gadis diperlakukan
seperti itu. Padahal Iza sendiri telah berusaha membayar ongkosnya. Dengan
penuh rasa syukur, Iza mengucap terima kasih pada bapak tersebut. Dalam hati ia
berdoa, semoga Allah membalasnya dengan yang lebih baik. Iza senang bukan main
karena ia tak jadi diturunkan dari kopaja. Jika hal itu benar-benar dilakukan
oleh sang kondektur, betapa malunya ia.
Tiba di pasar tanah abang, Ahmad, Jamal dan Iza turun dan berjalan
kaki menuju toko buku. Toko buku pertama yang mereka datangi yaitu yang di
dekat masjid jami’ al-Makmur. Iza bertanya pada penjual apakah menyediakan buku
pesanannya. Ternyata jawabannya tidak ada. Ahmad mengajaknya untuk pindah ke
toko buku yang ada di seberang jalan raya. Dari empat toko buku yang mereka
datangi, hanya satu yang menyediakan kitab pesanannya, itupun tidak sama persis
seperti yang dipesannya.
Hari semakin sore, matahari semakin condong ke ufuk barat. Mereka
akhirnya pulang. Namun di tengah perjalanan Iza berhenti di depan penjual buah
naga dan membeli 1 kg. Sementara Ahmad dan Jamal mampir ke blok G pasar tanah
abang. Mereka membeli baju batik sesuai selera mereka. Iza menunggu di luar
sambil mengamati orang-orang yang berlalu lalang di jalanan.
Ahmad dan Jamal datang menghampiri Iza yang sejak tadi berdiri
mematung lalu mengajaknya pulang. Mereka menyusuri jalan sambil menunggu kopaja
nomor 16. Tak lama kopaja datang, lambaian tangan Jamal memberhentikan kopaja
dan mereka segera masuk untuk melanjutkan perjalanan pulang.
Nur Rahma Sari
santri Pesantren Ekonomi Darul Uchwah